Sebegitu Pentingkah Hal Itu?

, , 2 comments
Berikut adalah cuplikan wawancara salah seorang reporter televisi swasta (yang sedang meliput musibah banjir di Jakarta) dengan seorang warga yang bersikukuh untuk tetap membuka tokonya meski banjir masih melanda kawasan tersebut

reporter : "Selamat siang bapak, bapak namanya siapa?" *sambil menyodorkan gambas mikrofon*
narasumber : "Siang, saya Haji K*** Mu**"
reporter : "Siapa pak?"
narasumber : "Haji K*** Mu**"
reporter : "Baik pak, hari ini kenapa bapak memilih berjualan kates tetap membuka toko?"
 - Penasaran dengan percakapan mereka selanjutnya? klik disini -

Udah klik link diatas? Udah bersumpah serapah sambil nggado penebah? Oke, sekarang silahkan tarik nafas sedalam mungkin kemudian hembuskan! Tapi daripada kamu terus-terusan inhale exhale, sampe dikira mau lahiran dan bikin heboh orang se-kelurahan, coba deh analisis percakapan aneh diatas. Udah nemu kejanggalan? Udah? Udah belum? Belum? Ya udah mending kamu ngesot aja ke laut sana!

Ketika sang reporter bertanya, "Bapak namanya siapa?", sang narasumber segera menjawab, "Haji K*** Mu**", jika diperhatikan lagi secara baik-baik, sang reporter hanya menanyakan nama sang narasumber. Lantas mengapa sang narasumber harus berepot-repot menyertakan kata Haji? Mungkin banyak dari kalian yang bilang "Kali aja di tempat itu ada yang punya nama sama kayak dia, jadi biar bisa dibedain" atau "Biar keren aja" atau "Biar nongol di tv agak lamaan dikit" atau "Dih yang diwawancara siapa? situ?" atau  malah "ngapain sih bahas hal gak penting kayak gini, ya udah sih rileks aja yang penting Indonesia damai". 

Sadar atau nggak, sengaja atau tidak, kita, masyarakat Indonesia, telah sangat memuja-muja (karena sangat memuja otomatis dipraktekkan dong, right?) teori ciptaan setan yakni, Pangkat dan Jabatan. Jika dipikir dengan akal sehat, kenapa sih kita harus nunjukin deretan simbol prestasi yang telah kita peroleh sebelum dan setelah nama kita di kartu nama, undangan, artikel, bahkan pidato kenegaraan? Kenapa sih di surat undangan selalu ada kata "mohon maaf jika terdapat kesalahan gelar"?.

Apakah seseorang dikatakan jenius jika dia bergelar profesor? Apakah seseorang dikatakan bodoh bahkan idiot jika dia hanya lulus SD? Apakah nanti Allah menanyakan rentetan prestasi dan gelar yang telah kita peroleh sebelum menanyakan sholat kita? Akankah kita otomatis masuk neraka jika kita tidak memiliki gelar? Berlarilah kembali ke pangkuan jiwa lepaskan pembatas-pembatas baja yang seabad ini membelenggu dan mengkotak-kotakkan kebebasan jiwa, jiwanya, jiwa mereka. Lega nggak rasanya?

2 comments:

  1. postingan kali ini berbau religi, salut deh sas. Simpel tapi dapet pesannya..

    ReplyDelete
  2. makasih lo :))tapi nggak sekere tulisanmu mbak :(

    ReplyDelete